AKU cabang, kau dedaunan, sepasang burung hinggap di ranting itu, tak tahu bahwa teduhnya adalah Cinta kitaAku lelah angin, kau tabah laut, pantai yang selalu menunggu itu tak tahu ombak yang sampai padanya adalah Cinta kitaAku matahari pagi, kau manis gerimis, pelangi yang melengkung itu tak tahu, bahwa warnanya adalah Cinta kita
Berbeda dengan puisi tema lain yang kadang memiliki motif tertentu, entah itu politis maupun estetis, bagi saya puisi cinta—meminjam istilahnya Umbu Landu Paranggi—adalah puisi “zero referensi”. Puisi yang tak membutuhkan rujukan laiknya puisi dengan tema yang lebih spesifik. Begitu pun puisi bertema maut (dalam pengertian luas) yang menjadi bagian kedua di buku ini. Sebagaimana cinta y…
Selama tiga dekade akhir masa hidupnya, Nizar Qabbani begitu intens menulis sajak-sajak politik. Pada periode ini, sajak-sajaknya berhasil mencetak dirinya menjadi “politisi” dalam arti yang lain. Sebagai pribadi yang independen, ia memang tak memiliki afiliasi ke partai politik mana pun. Namun, sebagai seorang “politisi dalam puisi”, ia selalu hadir sebagai oposisi. Lawan-lawan politik…
Sajak-sajak yang ada dalam buku ini dibuat oleh penulis dalam rentang waktu tujuh tahun (2011-2018). Semula penulis menulis sajak-sajak eksistensial. Namun, setelah jengah dengan tema itu, penulis beralih menulis sajak-sajak cinta. Tujuannya adalah agar pandangan penulis terhadap puisi tidak lagi berlebih-lebihan dengan misalnya mengganggapnya sebagai sesuatu yang monastik. Sang penulis sendiri…
Ada apa dengan Binhad dan kuburan? Lewat Kuburan Imperium (2019) dan lalu Nisan Annemarie (2020) kita seperti diajak berziarah dari satu makam ke makam lainnya. Bertekun dalam belantara imajinasi tradisional membuat Binhad menemukan gaya pengucapan baru dalam petualangan puitiknya. ia membuat sebuah ruang dalam genre puisi lirik, sebuah ruang epik yang menjadi wahana bertemunya suara-suara trad…